Desak BP Selesaikann Tumpang Tindih Alokasi dan Mafia Lahan

oleh -

BATAM – Badan Pengusahaan (BP) Batam diminta untuk menyelesaikan alokasi lahan yang tumpang tindih di Batam. Terutama lahan yang sudah membayar uang wajib tahunan (UWT), namun belakangan di alokasikan ke pihak ketiga lainnya. Seperti dialami PT NSV dan PT BBM, yang sudah bayar uang muka UWT, namun kemudian, lahan yang dialokasikan kepada perusahaan ini, kemudian dialokasikan juga ke pihak lain.

Anggota DPRD Kepri, Onward Siahaan, Minggu (25/4) meminta agar Direktur Pengolahan Lahan BP Batam, Ilham Eka Hartawan, menyelesaikan permasalahan lahan di Batam. Diminta agar tidak hanya sibuk mengalokasikan lahan, sehingga menimbulkan permasalahan baru, karena tidak menyelesaikan permasalahan lama.

“Kita mendapat keluhan atas kondisi lahan yang sudah dialokasikan, kemudian dialokasikan ke pihak lain. Kondisi ini membuat permasalahan baru. Ini harus diselesaikan pak Ilham,” tegas Onward.

Disebutkan, PT NSV sudah membayar UWT 10 persen tahun 2013. Bukti pembayaran dimiliki oleh perusahaan tersebut. Namun dengan alasan HPL belum keluar maka BP belum menindaklanjuti dengan penagihan Pelunasan UWT 30 tahun. Belakangan diketahui HPL telah keluar, tetapi pada lokasi NSV juga di tindih kemudian kepada pihak lain yang membayar uang muka kemudian.

“Tahun 2017, pengembang dimaksud meninjau, sudah ada yang mengclearing. Ada yang membersihkan dari pihak lain. Ternyata lokasi yang sama diberikan juga kemudian kepada pihak lain, dengan UWTO 10 persen. Tetapi jelas bahwa NSV terlebih dahulu mendapat alokasi dan membayar uang muka UWT. Pihak lain tersebut diminta menghentikan kegiatannya dan dihentikan. Tetapi sampai sekarang, kelanjutan proses pengalokasian kepada NSV berupa penagihan lunas UWT 30 tahun belum dilakukan oleh BP” ujar Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPRD Kepri itu.

Disebut, seyogianya proses pengerjaan atau realisasi investasi akan segera dilakukan PT NSV dan PT BBM, setelah seluruh proses pengalokasian dan SKEP dan SPJ telah terbit. Namun, justru BP Batam menunda, karena alasan HPL belum turun. Bahkan lebih parah lagi hal yang dialami PT BBM. Lahan yang dialokasikan kepada developer ini ternyata kemudian dialokasikan kepada dua perusahaan lain yang salah satunya terindikasi calo karena kemudian menjual dengan mengalihkan kepemilikan saham PT kepada pihak lain.

Saat diketahui pengembang HPL telah turun dan pengembang meninjau lokasi, ternyata ada dua perusahaan lain yang sedang melakukan pemasangan lahan dan mengaku telah membayar lunas UWT. Salah satu developer mengaku membeli dari orang yang mendapat alokasi dari BP. Terindikasi bahwa BP mengalokasikan kepada calo. Diduga hal ini dilakukan oleh mafia lahan yang kemungkinan besar melibatkan orang dalam BP.

“Dimana, saat tim perusahaan turun ke lapangan, ada developer lain yang melakukan proses pengerjaan di lahan dimaksud berupa pematangan lahan,” ujar dia.

“Ini kita minta disikapi Kepala BP Batam, agar dilakukan penindakan,” harap Onward.

Pernyataan senada disampaikan anggota DPRD Kepri dari PDI Perjuangan, Sahat Sianturi. Dinilai, BP Batam tidak menyelesaikan lahan tumpang tindih. Lahan tumpang tindih, dinilai terjadi, karena mafia lahan.

“Kita punya bukti-bukti, Direktorat Penanganan Lahan, tidak memprioritaskan permasalahan mafia lahan dan tumpang tindih,” ungkap Sahat.

Untuk itu, Sahat meminta agar lahan yang dialokasikan ke pengusaha, kemudian dialokasikan lagi ke pengusaha lain, diselesaikan. Sehingga, kenyamanan investor yang sudah mengeluarkan modal besar untuk UWT tidak terganggu. Serta ada kepastian hukum bagi dunia usaha.

“Pengusaha itu butuh kepastian hukum. Jangan digantung atau diganggu investasinya. Bukan dana kecil yang dikeluarkan untuk aset lahan itu. Sangat disayangkan. Ada bukti-bukti, tidak memprioritoskan penanganan yang sudah membayar uwt,” cetusya.

Diakui, Sahat ada juga pengusaha yang mengeluhkan pengalokasian lahan. Disebut, pengusaha itu mendapat alokasi lahan dan sudah membayar 10 persen UWT. Pengusaha dimaksud belum membangun dan diminta BP menunda, karena masih mengurus status DPCLS.

“Awalnya diberi surat pencadangan. Kemudian, tahun 2013, status ditingkatkan dengan menagih UWTO 10 persen. Tapi kemudian status pengalokasian berbeda. Makanya kita minta pak Rudi bersikap,” harap Sahat.(am)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.