Perkuat QRIS Antar Negara Tanpa Pindai dan Turunkan BI Rate

oleh -25 Dilihat
oleh

Batam – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2025, memutuskan untuk menurunkan BI-Rate sebesar 25 bps, menjadi 5,25%. Kemudia, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,00%. Selain itu, BI memberikan perhatian atas penguatan QRIS antar negara.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, Rabu (17/7/2025) mengungkapkan, keputusan ini konsisten dengan makin rendahnya prakiraan inflasi tahun 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1%. Kemudian, terjaganya stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya. Serta perlunya untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Kedepan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah dan pencapaian sasaran inflasi sesuai dengan dinamika yang terjadi pada perekonomian global dan domestik,” kata Perry.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial akomodatif terus dioptimalkan dengan berbagai strategi untuk meningkatkan kredit/pembiayaan, menurunkan suku bunga, dan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. “Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk turut menopang pertumbuhan ekonomi melalui perluasan akseptasi pembayaran digital, serta penguatan infrastruktur dan konsolidasi struktur industri sistem pembayaran,” bebernya.

Disampaikan arah bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk mempertahankan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Disiapkan langkah-langkah kebijakan, mulai penguatan strategi stabilisasi nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamental melalui intervensi baik melalui transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) di pasar domestik maupun transaksi Non-Deliverable Forward (NDF) di pasar luar negeri.

“Strategi ini disertai dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk menjaga stabilitas pasar keuangan,” kata Perry.

Dilanjutkan, penting penguatan strategi operasi moneter pro-market guna makin memperkuat efektivitas transmisi penurunan suku bunga, menjaga kecukupan likuiditas, mempercepat pendalaman pasar uang dan pasar valuta asing (valas), serta mendorong aliran masuk modal asing.

Dalam hal ini, perlu memperkuat efektivitas transmisi penurunan suku bunga melalui penyesuaian struktur suku bunga instrumen moneter dan swap valas dengan tetap menjaga daya tarik aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik. Kemudian, menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan melalui lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Serta memperkuat peran dealer utama untuk meningkatkan transaksi SRBI di pasar sekunder dan transaksi repurchase agreement (repo) antarpelaku pasar.

Langkah selanjutnya, perlu penguatan publikasi asesmen transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit berdasarkan sektor prioritas yang menjadi cakupan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Kemudian, perluasan akseptasi digital melalui peluncuran kerja sama QRIS Antarnegara dengan Jepang dan inisiasi sandbox QRIS Antarnegara dengan Tiongkok pada tanggal 17 Agustus 2025.

“Serta penguatan edukasi dan sosialisasi QRIS Tanpa Pindai (TAP) kepada pengguna dan merchant,” terang dia.

BI juga menyiapkan langkah penguatan dan perluasan kerja sama internasional di area kebanksentralan, termasuk dengan memperkuat konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal, serta memfasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait. BI juga terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah. Selain itu, BI terus mempererat sinergi kebijakan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

“Ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat pascapengumuman kenaikan tarif efektif resiprokal Amerika Serikat (AS) ke beberapa negara maju dan berkembang. Kebijakan kenaikan tarif resiprokal AS yang direncanakan berlaku mulai 1 Agustus 2025 diprakirakan akan memperlemah prospek pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya di negara maju,” ujar dia mengingatkan.

Disebut, pertumbuhan ekonomi di AS, Eropa, dan Jepang dalam tren menurun di tengah ditempuhnya kebijakan fiskal ekspansif dan pelonggaran kebijakan moneter di negara tersebut. Kinerja ekonomi Tiongkok juga diprakirakan belum kuat, di tengah berbagai strategi diversifikasi ekspor. Sementara itu, kinerja perekonomian India diprakirakan tetap baik didukung permintaan domestik.

BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 masih belum kuat sekitar 3,0%. Tekanan inflasi AS masih menurun sehingga mendorong tetap kuatnya ekspektasi arah penurunan Fed Funds Rate (FFR) ke depan. Sementara itu, pergeseran aliran modal keluar dari AS ke Eropa dan negara berkembang, serta komoditas yang dianggap aman seperti emas, terus berlanjut sejalan dengan meningkatnya risiko ekonomi AS, termasuk risiko fiskal.

Perkembangan ini mendorong berlanjutnya pelemahan indeks mata uang dolar AS terhadap mata uang negara maju (DXY) dan negara berkembang (ADXY). “Ke depan, kewaspadaan serta respons dan koordinasi kebijakan yang lebih kuat diperlukan guna memitigasi ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global yang masih tinggi, serta menjaga ketahanan eksternal, menjaga stabilitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri,” imbuhnya.***