Batam – Kawasan Transmigrasi Rempang, yang mencakup Satuan Permukiman (SP) Tempatan Tanjung Banun dan Dapur 6, dinilai rentan jika tak dibarengi dengan pembangunan infrasrtruktur dasar dan penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat.
Hal ini terungkap dari hasil evaluasi Tim Ekspedisi Patriot (TEP) Universitas Diponegoro (UNDIP) yang menemukan bahwa wilayah tersebut memiliki potensi ekonomi maritim besar—khususnya sektor rajungan dan hasil tangkapan ikan lainnya—namun terancam oleh keterbatasan infrastruktur dasar dan lemahnya kelembagaan ekonomi masyarakat.

“Potensi rajungan dan hasil tangkapan ikan lainnya di Rempang sebenarnya sangat besar, tetapi tanpa infrastruktur dasar dan kelembagaan yang kuat, masyarakat akan terus terjebak pada pola ekonomi subsisten,” ujar Ketua Tim Ekspedisi Patriot UNDIP, Tri Joko, saat melaporkan hasil ekspedisinya kepada Walikota Batam-Kepala BP Batam Amsakar Achmad, Senin (24/11/2025).
Tim Ekspedisi Patriot ini juga berangotakan 4 orang yakni Dede Suhendar, M Aqmal Buana yva, Karista Tiezha Mahera, dan Fince Aulia. Tri Joko menegaskan pentingnya penanganan cepat.
“Kalau sanitasi tidak dibenahi, ekosistem pesisir akan rusak dan itu berarti ancaman langsung terhadap mata pencaharian nelayan,” katanya.
- Rajungan dan Tangkapan Ikan Potensial, Tapi Nelayan Terjebak Ketergantungan
Sebanyak 69,3 persen warga Rempang bekerja sebagai nelayan tradisional. Komoditas rajungan memiliki nilai jual tinggi, terutama ketika sudah diolah menjadi daging kupas dengan harga mencapai Rp345.000 per kilogram di pasar regional.
Namun, nelayan lokal belum menikmati nilai tambah tersebut. Mereka masih bergantung pada modal dari pengepul (toke), sehingga posisi tawar mereka sangat lemah.
“Ketergantungan pada toke membuat nelayan tidak bisa naik kelas. Hilirisasi tidak akan berjalan kalau struktur ekonomi seperti ini dibiarkan,” jelas Tri Joko.
Kelembagaan ekonomi seperti Koperasi Produsen Transmigrasi Banon Tanah Harapan masih berada pada tahap awal pengembangan. Rendahnya literasi finansial menjadi tantangan besar dalam pengelolaan usaha bersama. Selain itu, penyaluran bantuan pemerintah yang dinilai tidak merata—lebih terfokus pada kawasan Rempang Eco-City—menimbulkan kecemburuan sosial di SP-Tempatan.
Minimnya akses pendidikan jenjang SMP dan SMA juga menghambat peningkatan kualitas SDM lokal. Rekomendasi: Literasi Finansial, Sanitasi 3R, dan Tata Kelola Kolaboratif
TEP UNDIP merumuskan tiga rekomendasi prioritas jangka pendek untuk meningkatkan keberlanjutan kawasan:
- Quick Win – Penguatan Literasi Finansial
Pelatihan intensif bagi koperasi dan Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk mendorong kemandirian modal dan pengembangan hilirisasi rajungan skala kecil. - Investasi Mendesak – Sanitasi dan TPS 3R
Penyusunan Detail Engineering Design (DED) serta alokasi anggaran pembangunan septic tank komunal dan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) 3R guna menghentikan pencemaran laut. - Tata Kelola – Pembentukan FTKK-RB
Pembentukan Forum Tata Kelola Kolaboratif Rempang Berkelanjutan yang melibatkan BP Batam, Pemkot Batam, Kementerian Transmigrasi, dan tokoh masyarakat.Tri Joko menekankan pentingnya forum tersebut.
“Tanpa tata kelola yang kolaboratif dan transparan, pembangunan akan memicu konflik, bukan kesejahteraan,” tegasnya.
- Rempang Menuju Pusat Pertumbuhan Maritim
Menurut TEP UNDIP, transformasi Rempang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi maritim hanya dapat terwujud jika pemerintah konsisten memberi prioritas pada:
pembangunan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, dan pengelolaan sampah; pemberdayaan ekonomi nelayan melalui koperasi; serta pendekatan pembangunan yang adil, inklusif, dan sensitif terhadap budaya lokal.
“Keberhasilan PSN Rempang Eco-City tidak boleh meninggalkan masyarakat transmigrasi. Pembangunan harus dirasakan merata oleh semua Satuan Permukiman,” tutup Tri Joko. ***










