BP Batam Nyatakan Lahan di Bengkong Palapa II Milik PT SBS, DPRD Dorong Musyawarah

oleh -333 Dilihat
oleh

Batam – Mediasi polemik terkait lahan di Bengkong Palapa II, antara PT Satria Batam Sukses (SBS) dengan warga setempat, berlangsung di DPRD Kota Batam. Perwakilan Badan Pengusahaan (BP) Batam menyatakan, legalitas lahan tersebut, milik PT SBS dan DPRD Batam, meminta dilakukan musyawarah.

Pernyataan terkait legalitas lahan milik PT SBS, disampaikan perwakilan Direktorat Lahan BP Batam, Mulyono, pada Rapat Dengar Pendapat (RDP), Jumat (10/10/2025) di Komisi I DPRD Batam. RDP itu membahas polemik lahan milik PT SBS,seluas 1.000 meter persegi, yang telah ditempati warga.

Mulyono mengonfirmasi, legalitas lahan di Bengkong Palapa II, seluas 1.000 meter persegi. Dimana, secara resmi dialokasikan BP Batam kepada PT SBS, dengan peruntukan jasa komersial hingga tahun 2050.

“Berdasarkan bukti surat dan legalitas, lahan tersebut memang dialokasikan kepada PT SBS. Tidak ada overlap pengalokasian,” tegas Mulyono.

Demikian, ia mendorong, agar antara masyarakat dan PT SBS, dapat musyawarah. Sehingga kedepan dapat menyelesaikan permasalahan dan meredam ketegangan di lapangan.

Pernyataan senada disampaikan Ketua Komisi I DPRD Batam, Mustofa. Ia menyampaikan terkait keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 dan nomor 28 tahun 2025.

Dimana, PP nomor 25 tahun 2025, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Sementara PP Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

“Seluruh lahan di Batam, pengelolaan di BP Batam. Yang terbaru, setelah terbit PP 25 dan 28, delineasi sudah sampai pulau-pulau. Terbaru Pulau Ngenang dan Tanjung Sauh. Sudah diatur, khusus untuk percepatan investasi, mengatur perijinan berusaha dan tempat usaha,” beber Mustofa.

Bahkan Mustofa mengatakan, aturan terbaru sudah mengatur terkait pengelolaan lahan hutan. Dimana, pengelolaan yang sebelumnya wewenang Kementerian Kehutanan, kini untuk Batam, ada ditangan BP Batam.

“Khusus Batam, perlakuan usaha hutan pun sudah di BP Batam, bukan di Kehutanan. Sekarang lahan dipermasalahkan, sebenarnya secara yuridis, secara legal standing, sudah diberikan BP ke PT SBS,” tegas Mustofa.

Ditambahkan, DPRD hanya sebatas mediator dan mendorong penyelesaian secara musyawarah. Diharapkan juga, BP Batam memfasilitasi mediasi lanjutan antara warga Bengkong Palapa II dan pemegang alokasi lahan.

Mustofa mengingatkan warga bahwa tata kelola lahan di Batam memiliki kekhususan. Di mana seluruh lahan dikelola oleh BP Batam berdasarkan kewenangan pusat.

“Kalau secara legal tanah itu sudah diberikan BP Batam kepada SBS, maka pilihannya dua. Musyawarah ganti rugi atau menempuh jalur hukum dengan menggugat keputusan BP Batam,” kata Mustofa.

Sebelumnya, PT SBS sudah bersedia untuk memberikan kompensasi kepada Warga. Sebelumnya sudah berupaya menawarkan lewat musyawarah, tanpa harus lewat Tim Terpadu.

Mediasi ini pernah dilakukan di BP Batam, Kantor Ombudsmen, Kantor Lurah, bahkan Managemen PT SBS sudah langsung ke warga lewat kuasa hukumnya. Namun kelompok masyarakat tersebut menolak.

Saat ini terlihat di lokasi lahan, sebagian masyarakat sudah mulai membongkar sendiri bangunannya. Pihak PT SBS juga menyediakan tempat tinggal sementara, tanpa membayar uang sewa. Sehingga mereka menyampaikan ucapan terima kasih kepada Managemen PT SBS.

Arpandi Karjono, SH, yg merupakan Kuasa hukum PT SBS juga menghimbau kepada Warga untuk dapat mematuhi hukum dan aturan yang berlaku. Disebut, sebagai masyarakat yang baik, harus tetap mendukung program kerja pemerintah.

“Pembangunan harus kita dukung, agar perekonomian masyarakat Batam meningkat,” himbaunya.

Masih ditempat yang sama, Lurah Bengkong Palapa II berharap ada solusi terbaik, demi menghindari konflik sosial. RDP ditutup dengan kesimpulan bahwa Komisi I merekomendasikan BP Batam untuk memfasilitasi pertemuan lanjutan antara warga dan perusahaan guna mencari jalan tengah yang adil.

Perwakilan warga, Sondang Juliana Silalahi, didampingi kuasa hukumnya, mengungkapkan kekecewaan karena mediasi yang berlangsung sejak Januari 2022 tidak pernah mencapai kesepakatan. Ia menyesalkan tindakan perusahaan yang menurunkan tim terpadu untuk memberikan Surat Peringatan (SP1, SP2, SP3).

“Tidak ada kesepakatan, tapi tiba-tiba tim terpadu turun. Bahkan ada tekanan dari orang-orang yang datang memaksa kami keluar,” ungkap Sondang.

Warga menegaskan bahwa mereka tidak menolak pembangunan, melainkan menuntut transparansi dan bukti kepemilikan lahan yang sah dari perusahaan.